Selasa, 26 April 2016

[Cerpen] Hanya Sebatas Mimpi

Bermimpi, berkhayal dan berimajinasi merupakan rutinasku setiap hari, dengan berkhayal semua yang ku inginkan terjadi walaupun hanya dalam khayalanku, hahaha.
“Mika, apa kau tahu, hari ini ada siswa baru?” kata Sahabatku Tania senang.
“Oya, di kelas mana?”
“Di kelas kita,”
“Wah, keberuntungan hari ini menghampiri kita,”
Tak lama kemudian wali kelasku masuk disusul dengan sosok yang membuat semua mata tertuju padanya terutama mata perempuan, hahaha. Bagaimana tidak, bisa dikatakan dia malaikat yang berwujud manusia walaupun sebenarnya aku belum pernah melihat malaikat. Dengan wajah yang benar-benar ha.. aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi tiba-tiba aku mengerutkan keningku wajahnya tidak asing bagiku, di mana aku pernah melihatnya? Gumamku dalam hati.
“Baiklah anak-anak, hari ini kalian punya teman baru, silahkan Iqbal, perkenalkan dirimu,”
“Baik Bu, nama saya Muhammad Iqbal, kalian bisa memanggilku Iqbal,”
“Hai Iqbal,” Serentak teman-temanku. Walaupun kelas kami terkenal nakal tetapi kami juga ramah kepada teman baru. Kenapa? Karena dia mau masuk ke dalam golongan kami, karena dia telah berani, maka kami akan membuatnya merasakan hidup yang sesungguhnya.
“Iqbal? Dia benar-benar tidak asing bagiku,” gumamku dalam hati. Kenapa ingatan ini benar-benar susah dikembalikan.
“Apakah sebelumnya aku pernah mengenalmu, Iqbal?” kataku berbisik tapi masih terdengar oleh Tania.
“Apa? Kau mengatakan apa?”
“Entahlah, sepertinya aku sedang berkhayal,” jawabku masih tetap menatap iqbal.
Iqbal lalu tersenyum dan menuju bangku yang masih kosong. “Senyum itu? akhirnya aku mengingatmu,” gumamku lega. Ternyata Iqbal ini adalah Iqbal yang dulu, senyum, wajah itu masih terpampang jelas di mataku, waktu itu senyumnya yang mengeluarkanku dari kesedihanku di dunia yang kejam ini, pandangan itu yang membuatku seakan masuk ke dalam dunianya.
Ya, aku mengenalnya 3 tahun yang lalu ketika aku masih duduk di bangku SMP, dia yang membuatku bertahan sampai sekarang. “Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” kata itu menjadi penyemangat, motivasi terbesarku untuk melanjutkan hidupku.
“Mika, ayo ke sana,” Tania membangunkanku kembali ke masa kini,”
“Tentu, ayo,” jawabku kemudian.
“Iqbal, aku Fadhil ketua kelas di sini dan aku akan memperkenalkan mereka serta kebiasaannya di kelas,” kata ketua kelasku Fadhil. “Ini Fhadilah kembaranku, kebiasaannya adalah membaca. Ini Rahmat kebiasaannya tidur, ini Alesha kebiasaannya berdandan,” Fadhil mulai memperkenalkan teman kelasku dan berbagai macam kebiasaannya sampai giliran Tania. “Dan ini Tania, kebiasaannya hmm.. mengekor pada Mika,” jawab Fadhil langsung menunjukku. Semua temanku tertawa termasuk Iqbal tetapi tidak dengan Tania, dia hanya memanyunkan bibirnya. “Dan terakhir Mika, kebiasaannya sangat banyak seperti tidur, berkhayal, terlambat ke sekolah, ee.. dan yang paling adalah kebiasaannya menjitak,” Aku hanya mendengar semua kebiasaanku dan ternyata tidak ada yang baik, hahaha.. aku baru sadar setelah hampir 3 tahun bersekolah di sini.
“Hey, Fadhil kenapa kebiasaanku paling banyak dan tidak ada yang baik pula,” protesku.
“Memang itulah kamu Mika,” jawab salah satu temanku. Aku lalu akan menjitaknya tetapi dia segera menghindar.
“Kau akan dapat nanti, hari ini aku sabar. Oya, Iqbal kenapa kamu pindah ke sini?” jawabku lalu bertanya kepada Iqbal sambil duduk di depannya. Tak lama kemudian dia memandangku cukup lama dan pandangan itu, benar-benar pandangan yang sama dengan 3 tahun yang lalu, aku lalu mengibas-ibas tanganku ke depannya.
“Halo,” kataku heran. Dia kemudian tersadar lalu memegang tanganku dan menurunkannya ke meja.
“Apa aku pernah melihatmu sebelumnya?” Tiba-tiba saja suasana saat ini sangat dingin tetapi entah kenapa keringatku mulai turun dan menjadi gugup.
“Apa yang harus aku katakan?” gumamku.
“Hahaha.. banyak orang yang mengatakan seperti itu, karena dia mirip dengan Mika Tambayong, aku pun pernah berkata seperti itu,” kata Tania menyelamatkanku.
“Terima kasih Ya Allah telah mengirimkan Tania,” gumamku bersyukur.
“Ya, benar, aku mirip kan?” kataku lalu menarik tanganku dan bersikap sok cantik.
“Kau sama sekali tidak mirip dengannya Mika,” kata Rahmat.
“Hahaha,” Semua tertawa.
Semakin hari kamu mulai akrab kepada Iqbal, termasuk aku, Tania, Rahmat, dan Fadhil, kedatangannya membuatku masuk dalam sebuah persahabatan yang menyenangkan dan setiap hari pula Iqbal tidak bosan menanyakan hal yang sama waktu pertama masuk sekolah.
“Apa kita pernah saling mengenal Mika?” Tanya Iqbal kali ini ketika kami berada di Kantin.
“Astaga, Iqbal apa kau tidak bosan menanyakan hal yang sama setiap harinya?” Tanya Tania disertai anggukan dari Fadhil dan Rahmat serta denganku.
“Benar, bahkan aku sudah kehabisan jawaban,”
“Tapi, sepertinya kita memang pernah saling dekat. Apa aku benar?”
“Astaga Iqbal, apa kau benar-benar belum mengingatku?” gumamku dalam hati.
“Aku benar-benar yakin bahwa kita pernah bersama,”
Saat itu aku sedang makan tiba-tiba saja aku tersedak mendengar perkataannya.
“Mika, minum,” Tania menyodorkan air minum
“Pernah bersama?” gumamku.
“Apakah kau, Mika itu?” Tanya Iqbal tiba-tiba, sepertinya dia mengingat sesuatu.
“Apa maksudmu Mika itu?” Tanya Rahmat bingung.
“Mika, Apakah itu kau? Aku sangat mengingat batuk itu,” jawab Iqbal tidak menghiraukan pertanyaan Rahmat.
“Hahaha.. batuk, sepertinya kau telah mengingatnya. Apa kabar Miq, lama tidak bertemu,” jawabku akhirnya dan mengulurkan tanganku untuk berjabat sambil tersenyum.
“Ternyata kau benar Mika, dasar gadis pendek,” membalas uluran tanganku dan tangan kirinya menjitak kepalaku.
“Aduh,”
“Jadi kalian sudah saling mengenal?” Tanya Fadhil tak percaya.
“Ya, aku mengenalnya 3 tahun yang lalu dan dia pernah tinggal di rumahku,” jawab Iqbal.
“Kenapa kau tidak cepat mengatakannya?” lanjut Iqbal dan menatapku.
“Biarkan kau sendiri yang mengingatnya. Dan apa kalian tahu? Dia yang mengajariku menjitak,”
Ketiga sahabatku masih belum percaya hal itu.
“Mika, Mika, Ayo bangun. Kita sudah pulang,” kata Tania menggoyangkan tubuhku. Aku lalu terbangun dan memegang kepalaku yang sedikit pusing.
“Hish.. ternyata hanya mimpi,”
“Kau bermimpi apa?”
“Tidak ada, tunggu aku ya,”
Aku lalu merapikan bukuku masuk ke dalam tas. Plak! “Haish, kenapa kau harus jatuh segala. Pulpen menyebalkan,” geramku pada pulpen yang tak bersalah itu. Aku lalu membungkuk akan mengambilnya, tapi tangan seseorang mendahuluiku, aku lalu mengangkat kembali badanku dan memandang orang itu.
“Ini, kau jangan marah kepada pulpen, kau yang salah,” katanya sambil mengembalikkan pulpenku. Aku masih memandangnya tak percaya.
“Iqbal?” tanyaku tak percaya.
“Hei, kau mengenalnya?” Tanya Tania.
The End